HANDOUT
7
Perjanjian
Internasional
Perjanjian
internasional dalam hukum intemasional di era negara modem menempati kedudukan
yang sangat penting sebagai salah satu sumber hukum. Sumber hukum yang berlaku
pada masa lalu seperti hukum kodrat dan pendapat para penulis telah tergeser
oleh perjanjian internasional. Mengingat pentingnya perjanjian internasional
sebagai sumber hukum internasional pada abad ini maka berikut ini akan
diuraikan perjanjian internasional dilihat drai pengetian, penggolongan, cara
pembuatan, dan isi serta ratifikasi di Indonesia.
6.2
Pengertian Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional (traktat = treaty) adalah suatu persetujuan (agreement) antara
dua negara atau lebih yang dinyatakan secara formal tentang ketentuan dan
syarat-syarat yang menetapkan hak dan kewaj ibar_ timbal balik masing-masing
pihak yang turut serta dalam perjanjian itu. Perjanjian internasional biasanva
dilakukan dengan suatu dokumen tertulis.yang dilakukan antar subyek hukum
internasional. Suatu perjanjian internasional sangat berarti dalam hukum
internasional khususnya dalam hubungan antar negara baik dalam situasi damai
maupun perang..
Sejak
awal abad ke-20, perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional
menjadi semakin.pentingkedudukannya dalam hukum internasional. Pada saat ini
sebagian besar hukum internasional lahir melalui perjanjian yang dibuat antar
negara. Perkembangan ini adalah suatu hal yang wajar karena hubungan
persahabatan ataupun kerja sama akan lebih mempunyai kekuatan dan kepastian
hukum apabila dijalani melalui suatu perjanjian atau persetujuan. Pentingnya
perjanjian internasional dalam hukum internasional dapat terungkap dalam Piagam
Mahkamah Internasional yang menempatkan perjanjian internasional pada urutan
pertama pasal 38 ayat (1) dalam menyelesaikan konflik. Piagam ini menegaskan
bahwa bagi Mahkamah yang tugasnya memberi keputusan sesuai denganhukum
internasional maka setiap perselisihan yang diajukan padanya akan berlaku:
Perjanjian-perjanjian
internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersengketa.
Namun
demikian, perjanjian intemasional sebagai salah satu somber hukum internasional
barn dapat berfungsi apabila dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut. Tanpa adanya kemauan atau itikad baik dari
pihak-pihak yang bersangkutan maka perjanjian yang dibuat tidaklah berarti.
Disinilah pentingnya asas hukum internasional yang dinamakan pacta sunt
servanda, yang berarti bahwa setiap perjanjian atau persetujuan antar negara
harus dihormati. Menurut Anzilotti, seorang sarjana hukum Italia yang pernah
menjabat sebagai hakim Mahkamah Intemasional Permanen, kekuatan hukum
intemasional terletak pada asas yang fundamentil ini.
Pentingnya
keberadaan perj anj ian internasional dalam hubungan intemasional menimbulkan
banyaknya pemikiran dan gagasan bagi para penulis dan sarj ana hukum
internasional. Pada umumnya para penulis memberikan pembahasan khusus dan
merumuskan pengertian perjanjian internasional sesuai dengan persepsinya
masing-masing. Namun demikian, defmisi perjanjian intemasional yang dire nuskan
itu umumnya mempunyai indikator yang sama dengan rumusan di atas, seperti:
Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM. merumuskan pengertian perjanjian
intemasional sebagai berikut:
Perjanjian
intemasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
Dr.
Wirjono Prodjodikoro, SH. mengidentikkan perjanjian internasional dengan perj
anj ian dalam hukum perdata, sebagai berikut:
...
dalam perjanj ian internasional pun ada dua pihak, kini Negara, atau lebih,
yang saling berjanji akan mematuhi isi dari perjanjian itu, yaitu suatu
rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diletakkan pada kedua belah
pihak. `
J.G.
Starke merumuskan perjanjian internasional sebagai berikut:
Traktat
dapat dirumuskan sebagai suatu persetujuan dalam mana dua atau lebih Negara
mengadakan atau berusaha mengadakan suatu perhubungan antara mereka,
perhubungan mana diatur oleh hukum intemasional.
Oppenheim-Lauterpacht
medefinisikan pejanjian internasionai sebagai berikut:
Perjanjian
internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara pihak.
Dari
beberapa pengertian mengenai perjanjian internasional di atas. dapat di
simpulkan bahwa terdapat perdamaan ciri-ciri pert anjian internasional sebagai
berikut:
perjanjian
internasional adalah bentuk. persetujuan dalam hubungan internasional;
1)
peserta yang mengadakan perjanjian
adalah subyek hukum internasional; persetujuan itu dilakukan secara formal;
sehingga
2)
perjanjian menimbulkan akibat-akibat
hukum, seperti hak dan kewaj iban bagi peserta.
6.3
Penggolongan Perjanjian Internasional
Untuk
mempermudah dalam mempelajari materi tentang perjanjian internasional ini, ada
tiga jenis penggolongan dalam pembahasan beri"t ini:
1)
perjanjian intemasional dilihat dari
bentuk dan istilahnya;
2)
perjanjian internasional dilihat dari
akibat.hukum yang ditimbulkannya;
3)
perjanjian internasional dilihat dari
jumlah suibyek huku.rm yang mengadakanriya: dan
4)
perjanjian internasional dilihat dari
isinya
Penjelasan
untuk setiap penggolongan perjanjianinternasional ini sebagai berikut.
a.
Bentuk dan istilah perjanjian internasional
Pada
bagian ini digunakan sebutan "bentuk" dan "istilah".
Timbulnya bermacam-macam istilah dan bentuk dalam perjanjian internasional
karena faktor historis. Adanya tradisi lama dalam menyebut istilah dan praktek
dalam melakukan perjanjian sulit disesuaikan dengan perkembangan modern. Selain
itu, ada kesewenang-wenangan dari pihak yang mengadakan perjanjian dalam
menggunakan istilah dengan alasan penyesuain dengan sifat hubungan antar
negara.
1)
Bentukperjanjian
Maksud
dari bentuk perjanjian internasional ini adalah berdasarkan pada subyek hukum
yang mengadakannya. Ada beberapa bentuk perjanjian, yakni:
a.
a Perjanjian yang dilakukan antar
Negara, biasanya ditandatangani oleh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
misalnya perjanjian tentang batas negara.
b.
Perjanjian yang dilakukan antar
Departemen dari masingmasing negara, biasanya ditandatangani oleh Menteri Luar
Negeri atau Menteri dari departemen lainnya, misalnya perj anj ian tentang bea
cukai.
c.
Perjanjian yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh politik dari masing-masing negara.
2)
Istilahperjanjian
Ada
beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perjanjian internasional,
yakni:
a.
Traktat (treaty), pada umumnya
dipergunakan untuk persetujuan perdamaian, persekutuan, dan batas wilayah.
b.
Konvensi (convention), biasanya
dipergunakan bagi persetujuan yang bersifat formil dan multilateral.
c.
Protokol, ialah berita acara hasil suatu
kongres atau konperensi dan biasanya ditandatangani oleh peserta namun tidak seresmi
traktat atau konvensi.
d.
Persetujuan (agreement), ialah
persetujuan antarpemerintah yang hanya ditandatangani oleh wakil pemerintah
dan tidak perlu diratifikasi oleh lembaga legislatif.
e.
Deklarasi (declaration), ialah suatu
pernyataan bersama mengenai suatu hasil kesepakatan dalam bidang politik,
ekonomi atau hukum.
f.
Statuta, ialah suatu peraturan yang
sifatnya dapat menimbulkan ketentuan bagi hukum internasional.
g.
Modus vivendi, ialah suatu dokumen untuk
pencatatan persetujuan internasional yang bersifat sementara yang dimaksudkan
untuk diganti lagi dengan yang bersifat permanen.
h.
Pertukararl nota, ialah suatu metode
tidak resmi sebagai persiapan untuk suatu persetujuan yang dibuat secara
tertulis.
b.
Akibat hukum dari perjanjian internasional
Ditinjau
dari akibat hukum yang ditimbulkannya, suatu penggolongan perjanjian
internasional dapat dibedakan atas perjanjian internasional khusus (treaty
contract) dan perjanjian internasional umum (law making treaty).
1)
Perjanjian khusus
Jenis
perjanjian yang disebut treaty contract ialah suatu perjanjian kontrak seperti
dalam perjanjian perdata yang sifatnya khusus, artinya hanya mengakibatkan
hak-hak dan kewaj iban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu.
Perjanjian ini bersifat tertutup karena hanya melibatkan pihak-pihak tertentu
saja. Misalnya, perjanjian tentang batas negara antara Indonesia dengan
Malaysia, perjanjian tentang kewarganegaraan antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah RRC sekitar masalah dwi kewarganegaraan (bipatride), perjanjian
tentang perdagangan, dan sebagainya.
Secara
teoritis, perjanjian khusus atau treaty contract dapat dinyatakan seperti di
atas, maksudnya dalam hal akibat hukum yang ditimbulkannya hanya mengikat
negara-negara yang mengadakan perjanjian. Namun dalam praktek, ada pula suatu
treaty contract yang berlaku bukan hanya bagi negara yang mengadakan perj anj
ian tetapi juga bagi negara-negara lain. Misalnya, perjanjian khusus antara
Amerika Serikat dengan Inggris tentang terusan Panama. Akibat hukumnya berlaku
pula untuk semua negara yang melewati terusan tersebut.
2)
Perjanjian umum
Perjanjian
umum atau law making treaty ialah perjanjian yang dapat meletakkan
ketentuan-ketentuan hukum untuk masyarakat internasional sehingga akibatnya
bukan hanya bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian melainkan juga bagi
negara-negara lain yang tidak ikut serta mengadakannya. Isi perj anj ian ini
biasanya meliputi hal-hal yang bersifat umum, yakni hal-hal yang menyangkut
kepetingan masyarakat dunia. Deklarasi yang dikeluarkan oleh PBB melalui
Majelis Umum biasanya memenuhi kriteria law making treaty karena mengikat
seluruh masyarakat internasional. Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan
kemanusiaan, misalnya Piagam PBB tentang Hak-hakAsasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) tahun 1949, Konvensi tentang Perlidungan Korban Perang tahun
1949, Konvensi tentang Hukum Laut tahun 1958, dan Konvensi Vienna tentang
Perwakilan Diplomatik tahun 1961.
Perbedaan
antara treaty contract dan law making treaty dapat dilihat dari pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian. Pihak ketiga atau yang tidak ikut dalam perjanjian,
tidak dapat menjadi anggota atau turut serta dalam treaty contract. Misalnya,
Australia tidak dapat turut serta atau terkena hak dan kewajiban pada perjanjian
antara Indonesia dan RRC tentang Kewarganegaraan. Seba$iknya, bagi suatu
perjanjian umum (law making treaty) yang biasanya mengenai masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat intemasional dapat diikuti oleh
setiap negara. Misalnya, Negara-negara lain yang belum menjadi anggota dalam
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dapat menyusul menjadi
anggota Konvensi ini.
6.4
Subyek hukum perjanjian internasional
Ditinjau
dari jumlah peserta atau subyek hukumnya yang mengadakan perjanjian dapat
dibedakan atas dua jenis, yakni perjanjian bilateral dan multilateral.
1)
Pedanjian bilateral
Perjanjian
bilateral ialah perjanjian yang diadakan hanya oleh dua negara. Kecuali dua
negara ini maka negara lain tidak diperbolehkan masuk menjadi anggota
perjanjian bilateral. Oleh karena itu perjanjian ini bersifat tertutup.
Contohnya, perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia tentang Selat Malaka dan
Laut Cina Selatan pada tanggal 27 Oktober 1969.
2)
Pedanjian multilateral
Perjanjian
multilateral ialah perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua negara atau
oleh banyak negara. Perj anj ian ini bersifat terbuka sehingga negara lain
sepanjang mendapat persetujuan dari anggota lama memungkinkan untuk menyusul
menjadi anggota baru. Isi perjanjian multilateral biasanya meliputi masalah-masalah
yang sifatnya umum. Artinya aspek-aspek yang dijadikan obyek pembahasannya
untuk kepentingan mayoritas masyarakat internasional. Misalnya, Deklarasi PBB
mengenai Hak-hak Asasi Manusia 1949; Konvensi Vienna tentang Perwakilan
Diplomatik tahun 1961.
6.5
Isi perjanjian internasional
Isi
suatu perjanjian intemasional dapat meliputi bidang masalah
masalah
sebagai berikut:
1)
Bidang politik. Perjanjian ini dapat
berupa pakta pertahanan,
pakta non-agresi, pakta perdamaian, misalnya NATO, SEATO.
pakta non-agresi, pakta perdamaian, misalnya NATO, SEATO.
2)
Bidang ekonomi. Perjanjian ini dapat
berupa bantuan keuangan, perdagangan, industri, misalnya WTO, APEC.
3)
Bidang hukum. Perjanjian ini dapat
meliputi masalah kewarganegaraan, ekstradisi, atau penentuan kedaulatan di
laut, misalnya landas kontinen, ZEE.
4)
Bidang kesehatan. Perjanjian ini dapat
berupa kerjasama dalam progarm keluarga berencana, pencegahan penyakit menular,
seperti penyakit AIDS.
Demikianlah
pembahasan tentang penggolongan perjanjian internasional ditinj au dari dari
bentuk dan istilahnya, akibat hukum yang ditimbulkannya, jumlah subyek hukum
yang mengadakannya, isinya. Bagaimana cars pembuatan perjanjian internasional,
berikut ini adalah pembahasan proses pembuatan suatu perjanjian intemasional.
6.6
Proses Pembuatan Perjanjian Internasional
a.
Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional
Ada
beberapa pendapat tentang tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional
(traktat/treaty). Namun dari pendapatpendapat itu sedikitnya ada 5 tahap
proses yang harus dijalani, ialah:
1)
penempatan atau penentuan orang-orang
yang akan mengadakan perundingan;
2)
perundingan (negotiation);
3)
penandatanganan (signature);
4)
pengesahan (ratification); dan
5)
pendaftaran dan pengumunan.
Penjelasan
untuk setiap tahapan proses pembuatan perjanjian internasional, sebagai
berikut:
1)
Penempatan atau penentuan utusan perundingan
Sebelum
suatu perundingan di mulai, orang yang akan mengadakan perundingan sebagai
utusan resmi negara harus ditentukan terlebih dahulu. Suatu keharusan bahwa
wakil ini adalah resmi mengatasnamakan negara yang memenuhi kriteria menurut
hukum internasional. Dalam suatu negara federasi, utusan yang sah mewakili
negara adalah atas nama pemerintah negara federal, bukan negara bagian. Oleh
karena itu wakil negara yang biasanya punya kuasa penuh (full powers) mendapat
pengesahan dan Kepala Negara atau Menteri Luar Negeri. Dalam hal ini, bagi
Presiden (Kepala Negara), Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan), Menteri Luar
Negeri, dan Kepala Perwakilan Diplomatik di negara setempat keharusan
menunjukkan surat kuasa penuh (full powers) tidak diperlukan karena mereka
sudah dianggap mewakili negara.
2)
Perundingam(negotiation)
Perundingan
tentang suatu perjanjian internasional dilakukan oleh seorang wakil negara yang
memiliki kuasa penuh (full powers). Namun tidak menutup kemungkinan pula bagi
dia untuk senantiasa berhubungan dengan Pemerintahnya untuk meminta nasehat
atau sumbangan pemikiran. Dalam proses perundingan, adaa pula pembicaraan yang
dilakukan di tempat lain, seperti di koridor, kamar-kamar hotel, ruang makan
dan di tempat lain disamping pembicaraan dalam sidang umum yang resmi.
Perundingan yang dilakukan di luar sidang resmi disebut perundingan informal
(informal meeting). Diantara juru runding, ada pula yang bertugas khusus
sebagai pelapor (rapporteur). Tugasnya adalah melaporkan basil rumusan atau
naskah perjanjian yang telah disepakati bersama.
3)
Penandatanganan (signature)
Setelah
rencana perjanjian dalam bentuk rumusan atau naskah disetujui maka dokumen itu
siap untuk ditandatangani. Namun sebelum penandatanganan, biasanya diawali oleh
peroses penerimaan naskah. Penerimaan keputusan ini ada yang dilakukan dengan
suara bulat, khususnya dalam perjanjian bilateral. Tanpa ada persetujuan kedua
belah pihak maka tidak ada dasar persetujuan. Untuk perj anj ian multilateral,
penerimaan naskah biasanya dilakukan oleh sedikitnya dua pertiga suara dan
peserta konferensi. Ketentuan ini diatur dalam Konferensi Vienna 1968 mengenai..
hukum perjanjian.
Setelah
adanya proses penerimaan maka tahap selanjutnya adalah proses penandatanganan.
Proses ini merupakan tindakan pengesahan dari bunyi naskah yang sifatnya
formil. Dalam suatu konferensi, biasanya ada prosedur pengesahan naskah. Prosedur
ini ada Yang dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan ad referendum
(sementara) atau dengan pembubuhan paraf. Apakah perjanjian ini telah mengikat
bagi para peserta? Daya mengikat suatu perjanjian tergantung kepada bunyi atau
isi ketentuan yang ada di dalam naskah itu. Ada yang menyatakan bahwa setelah
penandatanganan dilakukan maka perjanjian itu secara langsung mengikat atau
menimbulkan akibat hukum. Perjanjian lain baru mengikat peserta atau negara
setelah melalui proses ratifikasi.
4)
Pengesahan (ratification)
Pengesahan
atau ratifikasi adalah suatu persetujuan atau pengesahan oleh suatu lembaga
kenegaraan yang dianggap mewakili seluruh rakyat atau secara sah
mengatasnamakan rakyat negara. Dengan kata lain ratifikasi adalah pernyataan
resmi negara untuk terikat pads ketentuan traktat. Pengesahan suatu peijanjian
biasanya dilakukan oleh Kepala Negara dan Lembaga Perwakilan Rakyat. Isi
perjanjian ini terutama yang menyangkut masalah dasar-dasar kenegaraan yang
penting, seperti persoalan batas negara. Untuk suatu perjanjian yang dianggap
tidak mendasar atau kurang begitu penting biasanya dilakukan oleh Pemerintah
atau Menteri Luar Negeri. Bagi sebagian para ahli, seperti Lord Stowell,
ratifikasi dianggap begitu penting sehingga perjanjian yang tidak diratifikasi
dianggap sebagai perj anj ian yang tidak sempurna. Namun demikian, ada beberapa
alasan mengapa ratifikasi itu perlu dilakukan:
1)
Negara berhak meninjau dan menyelidiki
kembali dokumen yang ditandatangani oleh utusannya sebelum dokumen itu
dilaksanakan.
2)
Setiap negara berdaulat berwenang untuk
menarik diri dari traktat apabila perlu.
3)
Setiap traktat atau perjanjian
internasional harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum nasional.
4)
Asas demokrasi, artinya pemerintah harus
memperhatikan pendapat umum (public opinion) yang tidak setuju dengan
perjanjian tersebut.
Bagi
suatu perjanjian multilateral yang membentuk hukum (law making treaty)
keterlambatan negara dalam melakukan ratifikasi dapat menimbulkan persoalan
bagi negara tersebut maupun bagi negara lain yang terkait. Oleh karena itu
masalah ratifikasi bukan hanya persoalan bagi hukum intemasional melainkan
persoalan bagi hukum nasional terutama hukuni tata negara.
5)
Pendaftaran dan pengumuman
Setelah
suatu perjanjian di sahkan melalui proses ratifikasi oleh setiap negara
peserta, tahap berikutnya adalah perlu adanya pendaftaran dan pengumuman di
organisasi intemasional (PBB). Keharusan ini sesuai dengan bunyi pasal 102 ayat
(1) bab 16 Piagam PBB yang menetapkan bahwa:
Setiap
traktat atau persetujuan intemasional yang diadakan oleh anggota-anggota PBB
sesegera mungkin harus didaftarkan pada Sekretariat PBB dan diumumkan.
Langkah
ini sangat penting khususnya bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian
karena dapat menimbulkan akibat hukum. Misalnya, Negara-negara yang tidak
mendaftarkan basil persetujuan intemasional tidak dapat mempersoalkan atau
mengadukarrmasalah yang dihadapi oleh peserta perj anj ian tersebut di masa
depan kepada PBB, antara lain kepada Mahkamah Internasional.
Namun
demikian, suatu perjanjian yang tidak didaftarkan melalui PBB tidak berarti
bahwa perj anj ian tersebut batal. Maksud ketentuan pasal 102 Piagam PBB adalah
untuk mencegah Negaranegara mengadakan persetujuan rahasia antar Negara yang
dapat mengakibatkan adanya protes atau keberatan dari negara lain atas
perjanjian tersebut.
6.7
Ratifikasi perjanjian di Indonesia
Indonesia
sebagai negara berdaulat telah banyak men adakan perjanjian internasional
dengan negara lain baik secara bilateral maupun secara multilateral. Dari
sejumlah hasil perjanjian itu ada yang telah diratifikasi. Praktek ratifikasi
di Indonesia berdasarkan pada ketentuan pasal 11 WD 1945 yang berbunyi:
Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.
Dan
bunyi pasal ini menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian di Indonesia menghendaki
adanya tahap pengesahan atau ratifikasi yang dilakukan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR. Walaupun kedudukan Presiden di Indonesia`cukup kuat karena is
bukan hanya sebagai kepala negara melainkan juga sebagai kepala pemerintahan
UUD 1945 tetap menghendaki adanya pengesahan perjanjian oleh DPR.
Beberapa
contoh perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Presiden dan DPR
RI sebagai berikut:
1)
Perjanjian tentang batas wilayah Indonesia
a.
Perj anj ian Indonesia - Belanda tentang
Penyerahan Wilayah Irian Barat ke pangkuan Negara RI tahun 1962.
b.
Perjanjian antara Indonesia - Australia
tentang Batas Wilayah antara Indonesia dengan Papua Nugini (PNG) tahun 1973.
c.
Perjanjian antara Indonesia - Malaysia
tentang Normalisasi Hubungan antara Indonesia dan Malaysia tahun 1966.
2)
Perjanjian tentang garis batas landas kontinen
a.
Perjanjian Indonesia - Malaysia di Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan, tanggal 27 Oktober 1969.
b.
Perjanjian Indonesia - Muangthai di
Utara Selat Malaka dan Laut Andaman, tanggal 17 Desember 1971.
c.
Perjanjian Indonesia - Malaysia -
Muangthai tentang Common Point di Selat Malaka, tanggal 21 Desember 1971.
d.
Perjanjian Indonesia - Australia di
Selatan Pulau Timor, sebelah Selatan Pulau Irian dan di sekitar Pulau Arafuru,
tanggal 18 Mei 1971.
e.
Perjanjian Indonesia - Malaysia, tentang
garis batas laut territorial di Selat Malaka, tanggal 17 Maret 1970.
f.
Perjanjian Indonesia - Singapura,
tentang garis batas laut territorial si Selat Singapura, tanggal 25 Mei 1973.\
6.8
Berakhirnya Suatu Perjanjian
Suatu
perjanjian internasional dapat berakhir atau punah atau ditangguhkan
keberlakuannya sangat dipengaruhi oleh ketentuanketentuan yang ada dalam isi
perjanjian tersebut. Namun pada umunya, suatu perjanjian akan berakhir apabila
1)
telah tercapainya tujuan perjanjian
2)
habis waktu berlakunya perjanjian
(kedaluarsa)
3)
punahnya salah satu pihak peserta atau
obyek perjanjian
4)
adanya persetujuan dari para pe-serta
untuk mengakhiri perjanjian
5)
diadakannya perjanjian baru antara para
peserta yang meniadakan perjanjian terdahulu
6)
terpenuhinya syarat-syarat tentang
berakhirnya perjanjian sesuai -dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
7)
diakhirinya perjanjian secara sepihak
oleh salah satu peserta dan diterima oleh pihak lain.
Persoalan
yang mungkin timbul adalah bila terjadi suatu praktek anggota/peserta melakukan
tindakan di luar hal-hal yang diatur oleh perjanjian. Misalnya:
1)
Pembatalan atau pengunduran diri sepihak
dari salah satu peserta tanpa dukungan pihak lainnya.
2)
Pelanggaran perjanjian oleh salah satu
peserta.
3)
Perubahan yang mendasar (fundamentil)
dalam keadaan tertentu
4)
Pemutusan hubungan diplomatik atau
konsuler
5)
Pecahnya perang
Terjadinya
kasus-kasus di atas masih dipertimbangkan untuk tidak menjadikan berakhirnya
suatu perjanjian. Misalnya, adanya pembatalan sepihak dari salah satu peserta
perjanjian masih dapat dicari jalan oleh peserta lain agar tidak mengakibatkan
bubarnya suatu perjanjian khususnya untuk perjanjian multilateral. Namun,
Konvensi Vienna tentang Traktat menetapkan bahwa apabila ada suatu negara
peserta perjanjian akan mengundurkan diri maka sekurang-kurangnya 12 bulan
sebelumnya harus memberitahukan terlebih dahulu.
Apabila
terjadi suatu perubahan fundamentil dalam keadaan yang tidak terduga, misalnya
terjadi revolusi yang mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan Konvensi
Vienna telah mengakui alasan untuk mengakhiri atau menangguhkan suatu
perjanjian melalui asas "rebus sic stantibus". Dengan kasus ini maka
perjanjian dapat diakhiri. Asas ini tentunya bertentangan dengan asas "pacta
suns servanda" (setiap perjanjian harus dihormati/ditaati). Oleh karena
itu asas ini hanya dapat digunakan apabila:
1)
perubahan itu menyangkut hal-hal yang
tidak diatur dalam perjanjian
2)
perubahan itu menyangkut hal-hal
mendasar bagi perjanjian
3)
perubahari itu tidak diduga atau
direncanakan sebelumnya
4)
perjanjian diakhiri demi kepentingan dan
kebaikan negaranegara peserta
Asas
rebus sic stantibus" tidak berlaku terhadap perjanjian yang menyangkut
tentang perbatasan negara atau perubahan sebagai akibat dari pelanggaran negara
yang menuntut pembatalan.
Konvensi
Vienna menyatakan bahwa terjadinya pemutusan hubungan diplomatik dan konsuler
tidak mempengaruhi hubungan hukum antara peserta perj anj ian, kecuali apabila
ditentukan di dalam perjanj ian bahwa hubungan diplomatik menj adi syarat
pelaksanaan perjanjian. Demikian pula terjadinya perang. Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadj a, SH. menyatakan apabila pecah perang maka yang lebih tepat
dikatakan bahwa perang mengakibatkan ditangguhkannya ketentuan-ketentuan perj
anjian bagi para peserta dan bukan mengakibatkan berakhimya perjanj ian. Namun
demikian, persoalan tentang berakhirnya suatu perjanjian pada dasarnya
tergantung pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar