Selasa, 19 Februari 2013

perjanjian internasional


HANDOUT 7
Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional dalam hukum intemasional di era negara modem menempati kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu sumber hukum. Sumber hukum yang berlaku pada masa lalu seperti hukum kodrat dan pendapat para penulis telah tergeser oleh perjanjian internasional. Mengingat pentingnya perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional pada abad ini maka berikut ini akan diuraikan perjanjian internasional dilihat drai pengetian, penggolongan, cara pembuatan, dan isi serta ratifikasi di Indonesia.

6.2 Pengertian Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional (traktat = treaty) adalah suatu persetujuan (agreement) antara dua negara atau lebih yang dinyatakan secara formal tentang ketentuan dan syarat-syarat yang menetapkan hak dan kewaj ibar_ timbal balik masing-masing pihak yang turut serta dalam perjanjian itu. Perjanjian internasional biasanva dilakukan dengan suatu dokumen tertulis.yang dilakukan antar subyek hukum internasional. Suatu perjanjian internasional sangat berarti dalam hukum internasional khususnya dalam hubungan antar negara baik dalam situasi damai maupun perang..
Sejak awal abad ke-20, perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional menjadi semakin.pentingkedudukannya dalam hukum internasional. Pada saat ini sebagian besar hukum internasional lahir melalui perjanjian yang dibuat antar negara. Perkembangan ini adalah suatu hal yang wajar karena hubungan persahabatan ataupun kerja sama akan lebih mempunyai kekuatan dan kepastian hukum apabila dijalani melalui suatu perjanjian atau persetujuan. Pentingnya perjanjian internasional dalam hukum internasional dapat terungkap dalam Piagam Mahkamah Internasional yang menempatkan perjanjian internasional pada urutan pertama pasal 38 ayat (1) dalam menyelesaikan konflik. Piagam ini menegaskan bahwa bagi Mahkamah yang tugasnya memberi keputusan sesuai denganhukum internasional maka setiap perselisihan yang diajukan padanya akan berlaku:
Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
Namun demikian, perjanjian intemasional sebagai salah satu somber hukum internasional barn dapat berfungsi apabila dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Tanpa adanya kemauan atau itikad baik dari pihak-pihak yang bersangkutan maka perjanjian yang dibuat tidaklah berarti. Disinilah pentingnya asas hukum internasional yang dinamakan pacta sunt servanda, yang berarti bahwa setiap perjanjian atau persetujuan antar negara harus dihormati. Menurut Anzilotti, seorang sarjana hukum Italia yang pernah menjabat sebagai hakim Mahkamah Intemasional Permanen, kekuatan hukum intemasional terletak pada asas yang fundamentil ini.
Pentingnya keberadaan perj anj ian internasional dalam hubungan intemasional menimbulkan banyaknya pemikiran dan gagasan bagi para penulis dan sarj ana hukum internasional. Pada umumnya para penulis memberikan pembahasan khusus dan merumuskan pengertian perjanjian internasional sesuai dengan persepsinya masing-masing. Namun demikian, defmisi perjanjian intemasional yang dire nuskan itu umumnya mempunyai indikator yang sama dengan rumusan di atas, seperti:
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM. merumuskan pengertian perjanjian intemasional sebagai berikut:
Perjanjian intemasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. mengidentikkan perjanjian internasional dengan perj anj ian dalam hukum perdata, sebagai berikut:
... dalam perjanj ian internasional pun ada dua pihak, kini Negara, atau lebih, yang saling berjanji akan mematuhi isi dari perjanjian itu, yaitu suatu rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diletakkan pada kedua belah pihak.     `
J.G. Starke merumuskan perjanjian internasional sebagai berikut:
Traktat dapat dirumuskan sebagai suatu persetujuan dalam mana dua atau lebih Negara mengadakan atau berusaha mengadakan suatu perhubungan antara mereka, perhubungan mana diatur oleh hukum intemasional.
Oppenheim-Lauterpacht medefinisikan pejanjian internasionai sebagai berikut:
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak.
Dari beberapa pengertian mengenai perjanjian internasional di atas. dapat di simpulkan bahwa terdapat perdamaan ciri-ciri pert anjian internasional sebagai berikut:
perjanjian internasional adalah bentuk. persetujuan dalam hubungan internasional;
1)   peserta yang mengadakan perjanjian adalah subyek hukum internasional; persetujuan itu dilakukan secara formal; sehingga
2)   perjanjian menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti hak dan kewaj iban bagi peserta.
6.3 Penggolongan Perjanjian Internasional
Untuk mempermudah dalam mempelajari materi tentang perjanjian internasional ini, ada tiga jenis penggolongan dalam pembahasan beri"t ini:
1)      perjanjian intemasional dilihat dari bentuk dan istilahnya;
2)      perjanjian internasional dilihat dari akibat.hukum yang ditimbulkannya;
3)      perjanjian internasional dilihat dari jumlah suibyek huku.rm yang mengadakanriya: dan
4)      perjanjian internasional dilihat dari isinya
Penjelasan untuk setiap penggolongan perjanjianinternasional ini sebagai berikut.
a. Bentuk dan istilah perjanjian internasional
Pada bagian ini digunakan sebutan "bentuk" dan "istilah". Timbulnya bermacam-macam istilah dan bentuk dalam perjanjian internasional karena faktor historis. Adanya tradisi lama dalam menyebut istilah dan praktek dalam melakukan perjanjian sulit disesuaikan dengan perkembangan modern. Selain itu, ada kesewenang-wenangan dari pihak yang mengadakan perjanjian dalam menggunakan istilah dengan alasan penyesuain dengan sifat hubungan antar negara.
1) Bentukperjanjian
Maksud dari bentuk perjanjian internasional ini adalah berdasarkan pada subyek hukum yang mengadakannya. Ada beberapa bentuk perjanjian, yakni:
a.    a Perjanjian yang dilakukan antar Negara, biasanya ditandatangani oleh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan misalnya perjanjian tentang batas negara.
b.    Perjanjian yang dilakukan antar Departemen dari masing­masing negara, biasanya ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri atau Menteri dari departemen lainnya, misalnya perj anj ian tentang bea cukai.
c.    Perjanjian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh politik dari masing-masing negara.
2) Istilahperjanjian
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perjanjian internasional, yakni:
a.    Traktat (treaty), pada umumnya dipergunakan untuk persetujuan perdamaian, persekutuan, dan batas wilayah.
b.    Konvensi (convention), biasanya dipergunakan bagi persetujuan yang bersifat formil dan multilateral.
c.    Protokol, ialah berita acara hasil suatu kongres atau konperensi dan biasanya ditandatangani oleh peserta namun tidak seresmi traktat atau konvensi.
d.   Persetujuan (agreement), ialah persetujuan antar­pemerintah yang hanya ditandatangani oleh wakil pemerintah dan tidak perlu diratifikasi oleh lembaga legislatif.
e.    Deklarasi (declaration), ialah suatu pernyataan bersama mengenai suatu hasil kesepakatan dalam bidang politik, ekonomi atau hukum.
f.     Statuta, ialah suatu peraturan yang sifatnya dapat menimbulkan ketentuan bagi hukum internasional.
g.    Modus vivendi, ialah suatu dokumen untuk pencatatan persetujuan internasional yang bersifat sementara yang dimaksudkan untuk diganti lagi dengan yang bersifat permanen.
h.    Pertukararl nota, ialah suatu metode tidak resmi sebagai persiapan untuk suatu persetujuan yang dibuat secara tertulis.
b. Akibat hukum dari perjanjian internasional
Ditinjau dari akibat hukum yang ditimbulkannya, suatu penggolongan perjanjian internasional dapat dibedakan atas perjanjian internasional khusus (treaty contract) dan perjanjian internasional umum (law making treaty).
1) Perjanjian khusus
Jenis perjanjian yang disebut treaty contract ialah suatu perjanjian kontrak seperti dalam perjanjian perdata yang sifatnya khusus, artinya hanya mengakibatkan hak-hak dan kewaj iban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. Perjanjian ini bersifat tertutup karena hanya melibatkan pihak-pihak tertentu saja. Misalnya, perjanjian tentang batas negara antara Indonesia dengan Malaysia, perjanjian tentang kewarganegaraan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah RRC sekitar masalah dwi kewarganegaraan (bipatride), perjanjian tentang perdagangan, dan sebagainya.
Secara teoritis, perjanjian khusus atau treaty contract dapat dinyatakan seperti di atas, maksudnya dalam hal akibat hukum yang ditimbulkannya hanya mengikat negara-negara yang mengadakan perjanjian. Namun dalam praktek, ada pula suatu treaty contract yang berlaku bukan hanya bagi negara yang mengadakan perj anj ian tetapi juga bagi negara-negara lain. Misalnya, perjanjian khusus antara Amerika Serikat dengan Inggris tentang terusan Panama. Akibat hukumnya berlaku pula untuk semua negara yang melewati terusan tersebut.
2) Perjanjian umum
Perjanjian umum atau law making treaty ialah perjanjian yang dapat meletakkan ketentuan-ketentuan hukum untuk masyarakat internasional sehingga akibatnya bukan hanya bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian melainkan juga bagi negara-negara lain yang tidak ikut serta mengadakannya. Isi perj anj ian ini biasanya meliputi hal-hal yang bersifat umum, yakni hal-hal yang menyangkut kepetingan masyarakat dunia. Deklarasi yang dikeluarkan oleh PBB melalui Majelis Umum biasanya memenuhi kriteria law making treaty karena mengikat seluruh masyarakat internasional. Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, misalnya Piagam PBB tentang Hak-hakAsasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) tahun 1949, Konvensi tentang Perlidungan Korban Perang tahun 1949, Konvensi tentang Hukum Laut tahun 1958, dan Konvensi Vienna tentang Perwakilan Diplomatik tahun 1961.
Perbedaan antara treaty contract dan law making treaty dapat dilihat dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Pihak ketiga atau yang tidak ikut dalam perjanjian, tidak dapat menjadi anggota atau turut serta dalam treaty contract. Misalnya, Australia tidak dapat turut serta atau terkena hak dan kewajiban pada perjanjian antara Indonesia dan RRC tentang Kewarganegaraan. Seba$iknya, bagi suatu perjanjian umum (law making treaty) yang biasanya mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat intemasional dapat diikuti oleh setiap negara. Misalnya, Negara-negara lain yang belum menjadi anggota dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dapat menyusul menjadi anggota Konvensi ini.
6.4 Subyek hukum perjanjian internasional
Ditinjau dari jumlah peserta atau subyek hukumnya yang mengadakan perjanjian dapat dibedakan atas dua jenis, yakni perjanjian bilateral dan multilateral.
1) Pedanjian bilateral
Perjanjian bilateral ialah perjanjian yang diadakan hanya oleh dua negara. Kecuali dua negara ini maka negara lain tidak diperbolehkan masuk menjadi anggota perjanjian bilateral. Oleh karena itu perjanjian ini bersifat tertutup. Contohnya, perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia tentang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan pada tanggal 27 Oktober 1969.
2) Pedanjian multilateral
Perjanjian multilateral ialah perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua negara atau oleh banyak negara. Perj anj ian ini bersifat terbuka sehingga negara lain sepanjang mendapat persetujuan dari anggota lama memungkinkan untuk menyusul menjadi anggota baru. Isi perjanjian multilateral biasanya meliputi masalah-masalah yang sifatnya umum. Artinya aspek-aspek yang dijadikan obyek pembahasannya untuk kepentingan mayoritas masyarakat internasional. Misalnya, Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Asasi Manusia 1949; Konvensi Vienna tentang Perwakilan Diplomatik tahun 1961.
6.5 Isi perjanjian internasional
Isi suatu perjanjian intemasional dapat meliputi bidang masalah­
masalah sebagai berikut:
1)        Bidang politik. Perjanjian ini dapat berupa pakta pertahanan,
pakta non-agresi, pakta perdamaian, misalnya NATO, SEATO.

2)        Bidang ekonomi. Perjanjian ini dapat berupa bantuan keuangan, perdagangan, industri, misalnya WTO, APEC.
3)        Bidang hukum. Perjanjian ini dapat meliputi masalah kewarganegaraan, ekstradisi, atau penentuan kedaulatan di laut, misalnya landas kontinen, ZEE.
4)        Bidang kesehatan. Perjanjian ini dapat berupa kerjasama dalam progarm keluarga berencana, pencegahan penyakit menular, seperti penyakit AIDS.
Demikianlah pembahasan tentang penggolongan perjanjian internasional ditinj au dari dari bentuk dan istilahnya, akibat hukum yang ditimbulkannya, jumlah subyek hukum yang mengadakannya, isinya. Bagaimana cars pembuatan perjanjian internasional, berikut ini adalah pembahasan proses pembuatan suatu perjanjian intemasional.
6.6 Proses Pembuatan Perjanjian Internasional
a. Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional
Ada beberapa pendapat tentang tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional (traktat/treaty). Namun dari pendapat­pendapat itu sedikitnya ada 5 tahap proses yang harus dijalani, ialah:
1)   penempatan atau penentuan orang-orang yang akan mengadakan perundingan;
2)   perundingan (negotiation);
3)   penandatanganan (signature);
4)   pengesahan (ratification); dan
5)   pendaftaran dan pengumunan.
Penjelasan untuk setiap tahapan proses pembuatan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1) Penempatan atau penentuan utusan perundingan
Sebelum suatu perundingan di mulai, orang yang akan mengadakan perundingan sebagai utusan resmi negara harus ditentukan terlebih dahulu. Suatu keharusan bahwa wakil ini adalah resmi mengatasnamakan negara yang memenuhi kriteria menurut hukum internasional. Dalam suatu negara federasi, utusan yang sah mewakili negara adalah atas nama pemerintah negara federal, bukan negara bagian. Oleh karena itu wakil negara yang biasanya punya kuasa penuh (full powers) mendapat pengesahan dan Kepala Negara atau Menteri Luar Negeri. Dalam hal ini, bagi Presiden (Kepala Negara), Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan), Menteri Luar Negeri, dan Kepala Perwakilan Diplomatik di negara setempat keharusan menunjukkan surat kuasa penuh (full powers) tidak diperlukan karena mereka sudah dianggap mewakili negara.
2) Perundingam(negotiation)
Perundingan tentang suatu perjanjian internasional dilakukan oleh seorang wakil negara yang memiliki kuasa penuh (full pow­ers). Namun tidak menutup kemungkinan pula bagi dia untuk senantiasa berhubungan dengan Pemerintahnya untuk meminta nasehat atau sumbangan pemikiran. Dalam proses perundingan, adaa pula pembicaraan yang dilakukan di tempat lain, seperti di koridor, kamar-kamar hotel, ruang makan dan di tempat lain disamping pembicaraan dalam sidang umum yang resmi. Perundingan yang dilakukan di luar sidang resmi disebut perundingan informal (in­formal meeting). Diantara juru runding, ada pula yang bertugas khusus sebagai pelapor (rapporteur). Tugasnya adalah melaporkan basil rumusan atau naskah perjanjian yang telah disepakati bersama.
3) Penandatanganan (signature)
Setelah rencana perjanjian dalam bentuk rumusan atau naskah disetujui maka dokumen itu siap untuk ditandatangani. Namun sebelum penandatanganan, biasanya diawali oleh peroses penerimaan naskah. Penerimaan keputusan ini ada yang dilakukan dengan suara bulat, khususnya dalam perjanjian bilateral. Tanpa ada persetujuan kedua belah pihak maka tidak ada dasar persetujuan. Untuk perj anj ian multilateral, penerimaan naskah biasanya dilakukan oleh sedikitnya dua pertiga suara dan peserta konferensi. Ketentuan ini diatur dalam Konferensi Vienna 1968 mengenai.. hukum perjanjian.
Setelah adanya proses penerimaan maka tahap selanjutnya adalah proses penandatanganan. Proses ini merupakan tindakan pengesahan dari bunyi naskah yang sifatnya formil. Dalam suatu konferensi, biasanya ada prosedur pengesahan naskah. Prosedur ini ada Yang dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf. Apakah perjanjian ini telah mengikat bagi para peserta? Daya mengikat suatu perjanjian tergantung kepada bunyi atau isi ketentuan yang ada di dalam naskah itu. Ada yang menyatakan bahwa setelah penandatanganan dilakukan maka perjanjian itu secara langsung mengikat atau menimbulkan akibat hukum. Perjanjian lain baru mengikat peserta atau negara setelah melalui proses ratifikasi.
4) Pengesahan (ratification)
Pengesahan atau ratifikasi adalah suatu persetujuan atau pengesahan oleh suatu lembaga kenegaraan yang dianggap mewakili seluruh rakyat atau secara sah mengatasnamakan rakyat negara. Dengan kata lain ratifikasi adalah pernyataan resmi negara untuk terikat pads ketentuan traktat. Pengesahan suatu peijanjian biasanya dilakukan oleh Kepala Negara dan Lembaga Perwakilan Rakyat. Isi perjanjian ini terutama yang menyangkut masalah dasar-dasar kenegaraan yang penting, seperti persoalan batas negara. Untuk suatu perjanjian yang dianggap tidak mendasar atau kurang begitu penting biasanya dilakukan oleh Pemerintah atau Menteri Luar Negeri. Bagi sebagian para ahli, seperti Lord Stowell, ratifikasi dianggap begitu penting sehingga perjanjian yang tidak diratifikasi dianggap sebagai perj anj ian yang tidak sempurna. Namun demikian, ada beberapa alasan mengapa ratifikasi itu perlu dilakukan:
1)   Negara berhak meninjau dan menyelidiki kembali dokumen yang ditandatangani oleh utusannya sebelum dokumen itu dilaksanakan.
2)   Setiap negara berdaulat berwenang untuk menarik diri dari traktat apabila perlu.
3)   Setiap traktat atau perjanjian internasional harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum nasional.
4)   Asas demokrasi, artinya pemerintah harus memperhatikan pendapat umum (public opinion) yang tidak setuju dengan perjanjian tersebut.
Bagi suatu perjanjian multilateral yang membentuk hukum (law making treaty) keterlambatan negara dalam melakukan ratifikasi dapat menimbulkan persoalan bagi negara tersebut maupun bagi negara lain yang terkait. Oleh karena itu masalah ratifikasi bukan hanya persoalan bagi hukum intemasional melainkan persoalan bagi hukum nasional terutama hukuni tata negara.
5) Pendaftaran dan pengumuman
Setelah suatu perjanjian di sahkan melalui proses ratifikasi oleh setiap negara peserta, tahap berikutnya adalah perlu adanya pendaftaran dan pengumuman di organisasi intemasional (PBB). Keharusan ini sesuai dengan bunyi pasal 102 ayat (1) bab 16 Piagam PBB yang menetapkan bahwa:
Setiap traktat atau persetujuan intemasional yang diadakan oleh anggota-anggota PBB sesegera mungkin harus didaftarkan pada Sekretariat PBB dan diumumkan.
Langkah ini sangat penting khususnya bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian karena dapat menimbulkan akibat hukum. Misalnya, Negara-negara yang tidak mendaftarkan basil persetujuan intemasional tidak dapat mempersoalkan atau mengadukarrmasalah yang dihadapi oleh peserta perj anj ian tersebut di masa depan kepada PBB, antara lain kepada Mahkamah Internasional.
Namun demikian, suatu perjanjian yang tidak didaftarkan melalui PBB tidak berarti bahwa perj anj ian tersebut batal. Maksud ketentuan pasal 102 Piagam PBB adalah untuk mencegah Negara­negara mengadakan persetujuan rahasia antar Negara yang dapat mengakibatkan adanya protes atau keberatan dari negara lain atas perjanjian tersebut.
6.7 Ratifikasi perjanjian di Indonesia
Indonesia sebagai negara berdaulat telah banyak men adakan perjanjian internasional dengan negara lain baik secara bilateral maupun secara multilateral. Dari sejumlah hasil perjanjian itu ada yang telah diratifikasi. Praktek ratifikasi di Indonesia berdasarkan pada ketentuan pasal 11 WD 1945 yang berbunyi:
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Dan bunyi pasal ini menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian di Indonesia menghendaki adanya tahap pengesahan atau ratifikasi yang dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Walaupun kedudukan Presiden di Indonesia`cukup kuat karena is bukan hanya sebagai kepala negara melainkan juga sebagai kepala pemerintahan UUD 1945 tetap menghendaki adanya pengesahan perjanjian oleh DPR.
Beberapa contoh perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Presiden dan DPR RI sebagai berikut:
1) Perjanjian tentang batas wilayah Indonesia
a.    Perj anj ian Indonesia - Belanda tentang Penyerahan Wilayah Irian Barat ke pangkuan Negara RI tahun 1962.
b.    Perjanjian antara Indonesia - Australia tentang Batas Wilayah antara Indonesia dengan Papua Nugini (PNG) tahun 1973.
c.    Perjanjian antara Indonesia - Malaysia tentang Normalisasi Hubungan antara Indonesia dan Malaysia tahun 1966.
2) Perjanjian tentang garis batas landas kontinen
a.    Perjanjian Indonesia - Malaysia di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, tanggal 27 Oktober 1969.
b.    Perjanjian Indonesia - Muangthai di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman, tanggal 17 Desember 1971.
c.    Perjanjian Indonesia - Malaysia - Muangthai tentang Com­mon Point di Selat Malaka, tanggal 21 Desember 1971.
d.   Perjanjian Indonesia - Australia di Selatan Pulau Timor, sebelah Selatan Pulau Irian dan di sekitar Pulau Arafuru, tanggal 18 Mei 1971.
e.    Perjanjian Indonesia - Malaysia, tentang garis batas laut terri­torial di Selat Malaka, tanggal 17 Maret 1970.
f.     Perjanjian Indonesia - Singapura, tentang garis batas laut terri­torial si Selat Singapura, tanggal 25 Mei 1973.\
6.8 Berakhirnya Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian internasional dapat berakhir atau punah atau ditangguhkan keberlakuannya sangat dipengaruhi oleh ketentuan­ketentuan yang ada dalam isi perjanjian tersebut. Namun pada umunya, suatu perjanjian akan berakhir apabila
1)      telah tercapainya tujuan perjanjian
2)      habis waktu berlakunya perjanjian (kedaluarsa)
3)      punahnya salah satu pihak peserta atau obyek perjanjian
4)      adanya persetujuan dari para pe-serta untuk mengakhiri perjanjian
5)      diadakannya perjanjian baru antara para peserta yang meniadakan perjanjian terdahulu
6)      terpenuhinya syarat-syarat tentang berakhirnya perjanjian sesuai -dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
7)      diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterima oleh pihak lain.
Persoalan yang mungkin timbul adalah bila terjadi suatu praktek anggota/peserta melakukan tindakan di luar hal-hal yang diatur oleh perjanjian. Misalnya:
1)   Pembatalan atau pengunduran diri sepihak dari salah satu peserta tanpa dukungan pihak lainnya.
2)   Pelanggaran perjanjian oleh salah satu peserta.
3)   Perubahan yang mendasar (fundamentil) dalam keadaan tertentu
4)   Pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler
5)   Pecahnya perang
Terjadinya kasus-kasus di atas masih dipertimbangkan untuk tidak menjadikan berakhirnya suatu perjanjian. Misalnya, adanya pembatalan sepihak dari salah satu peserta perjanjian masih dapat dicari jalan oleh peserta lain agar tidak mengakibatkan bubarnya suatu perjanjian khususnya untuk perjanjian multilateral. Namun, Konvensi Vienna tentang Traktat menetapkan bahwa apabila ada suatu negara peserta perjanjian akan mengundurkan diri maka sekurang-kurangnya 12 bulan sebelumnya harus memberitahukan terlebih dahulu.
Apabila terjadi suatu perubahan fundamentil dalam keadaan yang tidak terduga, misalnya terjadi revolusi yang mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan Konvensi Vienna telah mengakui alasan untuk mengakhiri atau menangguhkan suatu perjanjian melalui asas "rebus sic stantibus". Dengan kasus ini maka perjanjian dapat diakhiri. Asas ini tentunya bertentangan dengan asas "pacta suns servanda" (setiap perjanjian harus dihormati/ditaati). Oleh karena itu asas ini hanya dapat digunakan apabila:
1)      perubahan itu menyangkut hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian
2)      perubahan itu menyangkut hal-hal mendasar bagi perjanjian
3)      perubahari itu tidak diduga atau direncanakan sebelumnya
4)      perjanjian diakhiri demi kepentingan dan kebaikan negara­negara peserta
Asas rebus sic stantibus" tidak berlaku terhadap perjanjian yang menyangkut tentang perbatasan negara atau perubahan sebagai akibat dari pelanggaran negara yang menuntut pembatalan.
Konvensi Vienna menyatakan bahwa terjadinya pemutusan hubungan diplomatik dan konsuler tidak mempengaruhi hubungan hukum antara peserta perj anj ian, kecuali apabila ditentukan di dalam perjanj ian bahwa hubungan diplomatik menj adi syarat pelaksanaan perjanjian. Demikian pula terjadinya perang. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadj a, SH. menyatakan apabila pecah perang maka yang lebih tepat dikatakan bahwa perang mengakibatkan ditangguhkannya ketentuan-ketentuan perj anjian bagi para peserta dan bukan mengakibatkan berakhimya perjanj ian. Namun demikian, persoalan tentang berakhirnya suatu perjanjian pada dasarnya tergantung pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar